18 tahun, ya inilah perjalanan saya sebagai seorang Ibu, saat si mbarep berulangtahun bulan Maret 2025 yang lalu.
Ada sebuah peristiwa menarik, momen dimana saya merasa antusias ketika melihat peran sebagai ibu.
Ketika kelas 4 SD, istri kakak sulung saya melahirkan, dan sejak saat itu, saya super excited. Lahirnya belasan keponakan dari ke-4 kakak saya, menjadikan sebuah inspirasi menarik. I think it’s gonna be nice or even great, kalau jadi seorang Ibu. Yap, at least itulah yang ada di pikiran saya waktu itu.
Sampai kemudian tiba waktunya, saya ‘beneran’ jadi Ibu di usia 26 tahun.
Dari mulai proses melahirkan, nyatanya saya sudah kewalahan. Why? Jelas ini, karena kurang ilmu.
Saya yang tipe going with the flow, suka belajar autodidak tentang apa pun, berpikir bahwa melahirkan ya tinggal melahirkan aja. Ternyata, it’s not as simple as that. Butuh penyesuaian bukan hanya saat melahirkan, tapi bahkan hingga proses mendidik bertahun-tahun, yang sempat membuat saya sangat kewalahan.
“Na, kamu itu udah keliatan jalannya bakal mulus, gak kayak aku,” ucap seorang teman di sebuah komunitas zaman kuliah. Ya, wajar sih kalo dia berpikir demikian. Sejak kuliah saya sudah sambil bekerja, ditambah sangat aktif dengan kegiatan produktif lainnya. Inilah salah satu hal yang bikin saya ngedrop secara mental bertahun-tahun, karena merasa dulu saya bakal bisa menahlukkan dunia, tapi ternyata saya salah. Saya merasa kalah, berasa ingin menyerah.
Apalagi ketika melihat teman-teman yang terlihat sukses di dunia kerja, pergi ke luar negeri kesana kemari karena urusan pekerjaan. Wew, I felt so drained. Energi saya selama bertahun-tahun dipenuhi dengan kecemasan, kekhawatiran, rasa iri dengki, kebencian yang luar biasa dalam.
Bukan, bukan benci ke orang lain, meski awalnya saya menganggap seperti itu. Tapi justru benci ke diri sendiri. Kenapa dulu resign sih, padahal jelas-jelas kerja di TV ataupun radio adalah hal yang sangat saya impikan, bahkan saya bangun portofolionya seawal & serapih mungkin.
Deretan impian yang melayang dan dengan emosional saya lepaskan, menjadikan diri ini semacam terjebak dengan keputusasaan.
Hey, kenapa sih gak bersyukur banget? Gaji suami ada, rumah nyaman (meski sempat numpang di rumah Mama Jogja selama lebih 10 tahun dan 2 tahun di rumah mertua), tapi kenapa berasa kurang? Selalu saja kurang.
Ternyata, Bukan Karena Kurang Bersyukur
Setelah belajar Talents Mapping, saya jadi menyadari bahwa banyak kebutuhan bakat kuat yang tidak terpenuhi.
Seperti misalnya bakat communication. Si suka cerita dan penyampai pesan. Ketika masih siaran radio, tentu ini sangat terfasilitasi. Ditambah saat saya di masa ngedrop, kebiasaan nulis di blog malah berhenti. Akibatnya, berasa makin terpuruk dari hari ke hari. Solusinya, aktif lagi menulis di blog dan juga di buku jurnal, membuat konten yang memakai tulisan serta ngomong langsung ke kamera, supaya kebutuhan mendeliver pesannya bisa terakomodasi.
Lalu bakat responsibility, ini adalah bakatnya orang-orang yang suka mendapatkan tugas. Inilah yang membuat galau ketika ‘hanya di rumah’ mengurus keluarga, karena tidak mendapatkan perintah atau delegasi tugas dari pimpinan kantor. Hal yang tampaknya sepele ini, ternyata bikin merasa hopeless, tidak berguna, tidak berdaya. Padahal tugas sebagai IRT itu jelas-jelas banyak dan beragam, tapi bukan sebuah struktur tugas yang memenuhi si bakat responsibility kuat, karena bakat ini memang memerlukan tugas dari orang lain. Solusinya, dengan menjadi Praktisi Talents Mapping, jadi saya lebih tergerak untuk otomatis menjalankan tugas dari para klien, yaitu bagaimana membantu mereka menjadi lebih berdaya dengan potensi yang dimiliki.
Saya juga punya bakat achiever kuat. Dorongannya adalah dengan pencapaian, bukan harus nomor 1, tapi perlu sebuah pencapaian untuk diri sendiri. Jadi, meski peran sebagai Ibu dan Istri begitu padat dan kompleks, ternyata ini belum cukup. Sebagai pribadi, butuh pencapaian tersendiri. Solusinya, melalui sesi konsultasi dan coaching ke klien, ditambah sekarang juga membuka kelas Public Speaking for Kids, ini semacam melengkapi pencapaian yang memang diperlukan.
Jati Diri Ibu
Menjadi Ibu selama 18 tahun, sejak resign sebagai penyiar radio, sempat mengalami krisis percaya diri luar biasa. Bingung harus ngapain, berasa gak bisa melakukan hal lain selain siaran radio, karena ini adalah aktivitas produktif yang sudah saya lakukan sejak zaman kuliah.
“Sudahlah fokus ngurus suami sama anak-anakmu aja”, begitu ungkap Ibu saat saya mencoba beberapa bisnis tapi tak kunjung berhasil. Saya pun menyanggupi, tapi ternyata inilah awal saya mulai limbung.
Gampang dengan siapa diri saya sesungguhnya, selain peran sebagai ibu dan istri.
Sayangnya, saya tidak menyadari hal tersebut. Yang saya bingungkan adalah kenapa saya jadi makin mudah tersinggung, merasa rendah diri terutama ketika melihat teman-teman seangkatan yang masih bekerja dan terlihat karirnya bertumbuh pesat.
Bisa dibilang, itu adalah fase terendah dalam kehidupan, yaitu ketika saya tidak mampu menghargai value dalam diri sendiri. Semacam percaya diri yang melekat sebagai ciri khas seorang InnA, terhempas begitu saja.
Di sisi lain, ternyata saya menemukan banyak pelajaran berharga tentang penemuan jati diri ibu yang bermakna.
#1. Memahami Potensi
Saya belajar bahwa menjadi ibu bukan berarti meninggalkan potensi, tapi justru memunculkan sisi-sisi baru yang sebelumnya tersembunyi. Mengenal bakat, kekuatan pribadi, dan apa yang membuat saya merasa ‘hidup’ menjadi awal penting dari perjalanan ini.
#2. Memahami Emosi
Menjadi ibu adalah sekolah emosi yang sesungguhnya. Saya belajar memaknai amarah, lelah, bahagia, dan haru sebagai bagian dari proses. Memahami emosi bukan untuk menekannya, tapi untuk mengenal dan mengelolanya dengan lebih bijak.
#3. Memahami Sinergi & Support System
Saya juga sadar bahwa saya tidak harus menjalani semua sendiri. Ada kekuatan besar dalam sinergi: dengan pasangan, keluarga, teman, dan komunitas. Dukungan bukan tanda lemah, tapi tanda bahwa kita layak ditopang agar bisa berdiri lebih kuat.
Kini, setelah 18 tahun menjalani peran sebagai Ibu, saya belajar bahwa menjadi Ibu bukan berarti kehilangan diri, tapi justru menemukan versi diri yang lebih utuh dan kaya makna. Tidak lagi berfokus pada apa yang hilang, tapi pada apa yang tumbuh. Peran sebagai ibu bukan akhir dari cerita, tapi awal dari babak baru, bisa terus ditulis dengan kesadaran, keberdayaan, dan harapan.
Jadi gimana Bu? Sudah memahami kekuatan diri sendiri? Jika iya, sudahkah siap lanjut dengan produktivitas yang lebih nyata?