Menjadi ibu rumah tangga 100%, not really my thing.
Bukan ranah cita-cita sejak zaman sekolah. Bekerja kantoran, masuk di dunia pertelevisian, meneruskan passion sebagai penyiar, bahkan mencicipi dunia voice over, adalah sebagian mimpi-mimpi yang saya tuai. Akan tetapi pada satu titik, saya perlu lepaskan satu persatu. Inilah yang akhirnya membuat “galau”.
Sempat terprovokasi dengan beragam berita mental health pada IRT, justru sempat membuat saya makin terpuruk. Makin tidak berharga. Makin tidak berdaya.
Di tengah merasa tertatih, pengen bikin karya, tapi gimana bisa? Emosi aja masih berantakan. Cita-cita pengen punya karya dan bermanfaat buat orang lain, tapi ya lagi-lagi, gimana bisa? Lha wong, mencintai diri sendiri aja masuk di tahap struggling.
Yes, literally, self-love di level terendah dalam hidup.
Erich Fromm menyebutkan, self-love adalah sebuah konsep mencintai diri sendiri, yang sebenernya ini adalah citra positif. Hanya saja, ketika tidak terkendalikan dengan baik, bisa jadi narsisme atau bahkan egoisme. Self-love yang autentik sebenarnya mengajak untuk tidak hanya merayakan kelebihan, tetapi juga menerima keterbatasan diri dengan lapang dada.
Ibu Rumah Tangga Butuh Self-Love?
Beberapa waktu lalu, saya sedang menemani nakragil sepedahan keliling komplek, bertemu dengan salah seorang Eyang atau Ibu dari tetangga saya. “Oh, Ibunya gak kerja di kantor?”, sambil menatap ke saya setajam silet! Hiyakkkk!
Ya, pandangan seperti ini, jujur beberapa kali saya dapatkan, termasuk dari tante saya sendiri.
Awalnya, saya baik-baik aja loh dengan status IRT ini. Namun, lambat laun, ternyata ini jadi gulma yang mengganggu. Sedikit demi sedikit, tanpa saya sadari, menggerogoti kepercayaan diri yang dulu amat sangat tinggi.
Self-love rontok, memang sangat berpengaruh pada percaya diri. Bisa dibilang, saya sering disergap kecemasan. Sertifikasi NLP dan hynotherapy yang pernah saya dapatkan di tahun 2011-2012, seperti lenyap begitu saja. I lost my state.
“Bunda, aku pengen Bunda kayak dulu lagi”, sebuah curhatan nakwedhok sekitar kelas 2 SD. Pada saat itu, saya seperti tersadar, “Ok, something wrong with me, I need to fix it“. Kalau dihitung, ternyata butuh sekitar 7 tahunan, sampai menemukan formula yang nyaman.
Ibu yang mampu mencintai dirinya sendiri, tentu bisa mencurahkan segala perhatian dengan lebih bijak ke keluarganya. Anak-anak butuh ibu yang utuh. Suami juga butuh istri yang hadir secara penuh.
Peduli dan mengasihi diri sendiri, punya tahta lebih tinggi dibandingkan self-love. Dr Neff, pencetus istilah self-compassion, menyebutkan ini adalah kondisi dimana ketika kita mampu menerima diri kita apa adanya, termasuk kelebihan maupun kekurangan yang ada.
Ternyata, inilah yang saya lakukan bertahun-tahun. Pencarian bukan sekedar self-love, tapi juga self-compassion.
Begitu menerima dan memahami diri, hidup jadi lebih tenang. Tentu saja, ini masih naik turun, but at least, saya bisa lebih sadar sepenuhnya, apa yang perlu saya perbaiki ketika berada di kondisi ‘tidak nyaman’. Dengan kata lain, saya dengan lebih cepat, untuk mengembalikan mindfulness dibanding sebelumnya yang cenderung berlarut-larut.
Kenal Diri Melalui Talents Mapping
Pada awal 2024, 2 tahun setelah melahirkan, saya memutuskan mulai bangkit, menata lagi.
Apakah ini mengejar ketertinggalan? But, hey, terlalu capek kalo terus mengejar. I prefer enjoying the process. Meski tidak bisa saya pungkiri, awalnya mengejar habis-habisan.
Berawal dari awal tahun 2024, saya ikut pelatihan Art Therapy. Di saat peserta lain adalah para psikolog, psikiater, terapis, pendidik, sementara saya? Seorang IRT yang linglung. Masih bingung ingin menuju kemana. Dalam pelatihan art therapy ini, saya menjadi paham bahwa proses mengenali diri bisa menyenangkan melalui seni. Bukan hanya mengenal diri, tapi juga semacam regulasi emosi.
Bulan juli 2024. dengan penuh kesadaran, saya mengikuti pelatihan Talents Mapping Basic, lanjut beberapa bulan selanjutnya dengan Talents Mapping Dynamics. Nah, dari sinilah, kaki saya terasa mulai menjejak kembali ke bumi.
Yes, semula rasanya masih mengawang tanpa arah. Begitu paham dengan bakat kuat yang saya miliki, ini seperti menjawab sebagian penasaran, kenapa selama ini saya begini dan begitu.
Kenapa saya begitu mudah tertarik energi, baik itu positif maupun negatif? Ternyata karena saya punya bakat empathy.
Kenapa saya sering ragu dan overthinking ketika memutuskan sesuatu? Hingga akhirnya malah membuat saya tidak berpikir panjang — karena lelah berpikir too much. Ini ternyata karena saya punya bakat deliberative.
Kenapa saya selalu penuh dengan ide, anytime, anywhere. Ini juga karena saya punya bakat kuat ideation.
Pada saat sesi feedback Talents Mapping pertama kali, saya langsung bertanya ke praktisi waktu itu –Mbak Wening. “Mbak, kalo saya ingin jadi praktisi seperti Mbak Wening, apa yang perlu saya lakukan?”.
Saya seperti menemukan jawaban atas banyak kegalauan bertahun-tahun, jadi saya ingin menularkan ke sebanyak-banyaknya orang tentang betapa pentingnya mengenal diri.
Paham potensi diri, memang ternyata sebegitu dahsyatnya.
Saya yang sempat mengurung diri, melepaskan semua blog dan sosial media, secara bertahap saya mulai kembali. “Oh that’s stupid, Na!”. Kadang muncul pemikiran bodoh seperti itu. Ya, kadang menyalahkan diri sendiri, kenapa sebelumnya gak berusaha mempertahankan blog yang udah belasan tahun itu. Gak berusaha tetap update di sosial media.
But that time, rasanya saya seperti kehabisan tenaga. Ibaratnya, untuk berdiri tegap pun, saya kepayahan.
Meski butuh bertahun-tahun berada di masa paling gelap tersebut, saya sangat bersyukur, Allah mengembalikan apa yang saya cari, tepat pada waktunya.
Potensi Unik Ibu Rumah Tangga, Pondasi Self-Love
Tiap manusia itu terlahir unik. Termasuk perempuan yang mendedikasikan hidupnya sebagai ibu rumah tangga. Hanya saja, karena ukuran sukses seringkali dilihat dengan karir dan seberapa besar penghasilan pribadi, ini membuat IRT semacam kehilangan esensi self-love.
Melalui Talents Mapping, kita bisa melihat potensi diri, bisa jadi selama ini sudah disadari maupun belum. Beberapa potensi kekuatan yang ada, sebenernya adalah dinamika bakat yang terjadi pada keseharian kita. Bakat dalam definisi Talents Mapping, adalah rangkaian pola pikiran-perilaku-perasaan yang berulang-ulang secara spontan dan alamiah.
Inilah kenapa, saat menjawab seluruh pertanyaan pada sesi pengisian assesstment, kita perlu jujur dengan diri sendiri, tidak perlu melebih-lebihkan supaya hasil terlihat menakjubkan. Justru, dengan menjawab apa adanya, hasil yang terpapar juga makin mendekati siapa diri kita sesungguhnya.
Tiap ibu rumah tangga, punya keunikan berbeda-beda. Ada yang jago dalam hal keuangan, ada yang lebih jago dalam membangun pertemanan hingga komunitas, ada juga yang super detail, bahkan ada yang jago mengatur segala sesuatu menjadi lebih terorganisir. Inilah satu hal yang perlu disadari, bukan untuk dijadikan perbandingan antara satu ibu dengan ibu lainnya.
Dengan kejujuran dalam menggali dan mengakui potensi diri melalui Talents Mapping, kita juga merayakan keunikan yang ada dalam diri sendiri.
Mencintai dan menghargai diri sendiri adalah fondasi kekuatan sejati yang memungkinkan tiap ibu rumah tangga meraih kebahagiaan dan hidup yang bermakna.
Dari sini kita akhirnya menyadari, bahwa untuk memperkuat self-love bahkan mencapai self-compassion, perlu berada pada tahap self-discovery seutuhnya.
pic source: pexels