Bulan Maret 18 tahun yang lalu, pertama kalinya saya mendapatkan pengalaman berharga sebagai seorang perempuan, yaitu menjadi Ibu.
Di sebuah rumah sakit swasta yang terbilang baru di Jogjakarta, putra pertama saya lahir secara spontan.
5 tahun berikutnya, lahirlah anak kedua, perempuan.
Si mbarep dan anak wedhok, saat ini berusia 18 tahun dan 13 tahun, ini berarti keduanya masuk sebagai Gen Z. Generasi yang sering disebut-sebut sering bermasalah di dunia kerja dan interaksi sosial. Apakah memang demikian adanya?
Gen Z, Benarkah Serapuh Itu?
Generasi Z (Gen Z) adalah mereka yang lahir antara pertengahan 1997 hingga awal 2012. Dikenal sebagai generasi digital native, mereka tumbuh dalam era internet, media sosial, dan kemajuan teknologi yang pesat. Gen Z juga sering disebut sebagai generasi yang lebih terbuka terhadap isu mental health, lebih ekspresif dalam menyuarakan pendapat, lebih fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan perubahan, lebih vokal dalam memperjuangkan hak-hak mereka, dan memiliki semangat tinggi dalam mengejar passion mereka.
Banyak yang menilai Gen Z sebagai generasi yang lebih rentan terhadap stres, kecemasan, dan tekanan sosial dibanding generasi sebelumnya. Hal ini dikaitkan dengan paparan media sosial yang tinggi, ekspektasi tinggi terhadap diri sendiri, serta lingkungan yang serba cepat dan kompetitif.
Label “rapuh” mungkin kurang tepat jika melihat bagaimana Gen Z beradaptasi dengan dunia yang terus berubah. Mereka menghadapi tantangan berbeda, tetapi mereka juga memiliki kelebihan dalam berpikir kritis, berinovasi, dan membangun koneksi global. Sebenarnya bukan soal rapuh, tetapi tentang bagaimana mereka menghadapi dunia dengan cara yang berbeda.
Bagaimana pengalaman saya menjadi ibu duo Gen Z, apakah benar mereka serapuh itu?
Sekarang gini, rapuh yang dimaksud orang-orang itu seperti apa? Apakah anak-anak jadi tidak mandiri? Punya ketergantungan tinggi pada orang tua?
Saya tidak bisa mengklaim, bahwa anak-anak saya termasuk paling kuat diantara teman-teman sejawatnya. Akan tetapi saya bisa lihat bahwa mereka tumbuh dan berkembang dengan baik. Mampu bertanggung jawab dengan semestinya. Contoh sederhana, saat anak-anak terpaksa harus sekolah di rumah di masa pandemi covid 19, di saat banyak orang tua geregetan ngoprak-ngoprak anaknya buat belajar dan mengerjakan tugas, Alhamdulillah baik Ical si sulung maupun Sasha si tengah, berusaha beradaptasi dan patuh dengan tepat waktu mengumpulkan semua tugas.
Mendampingi anak Gen Z yang serba kritis, artinya kita juga melatih bagaimana mereka menjadi generasi yang mampu bertanggungjawab.
Tanggung jawab bukan sesuatu yang bisa dipaksakan, melainkan ditanamkan sejak dini melalui kebiasaan dan keteladanan.
Saya percaya, ketika anak merasa dihargai dan diberi kepercayaan, mereka akan lebih mudah memahami konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka ambil, yaitu dengan membangun kesadaran bahwa setiap tugas, kewajiban, dan keputusan yang mereka buat adalah bagian dari perjalanan mereka menuju kedewasaan.
Gen Z mungkin sering dianggap sebagai generasi yang terlalu santai, sulit fokus, dan kurang disiplin. Namun, jika kita melihat lebih dalam, justru mereka adalah generasi yang sangat menghargai makna dari segala sesuatu. Mereka akan melakukan sesuatu dengan maksimal jika memahami tujuan dan manfaatnya. Maka, daripada hanya sekadar menuntut mereka untuk bertanggung jawab, lebih baik kita ajak mereka berdiskusi: Mengapa ini penting? Bagaimana dampaknya bagi diri mereka sendiri dan orang lain?
Gen Z Butuh Lingkungan Berkomunikasi
Setelah saya pelajari, anak-anak Gen Z yang dengan mudahnya terpapar banyak informasi, sebenarnya butuh 1 hal penting, yaitu lingkungan berkomunikasi. Apa maksudnya?
Artinya mereka butuh tempat untuk bicara, seseorang yang dipercaya yang mampu membuat mereka nyaman. Terus siapa dong yang bisa mempersiapkan itu semua?
Ya, siapa lagi, kalau bukan kita, sebagai orang tuanya, orang terdekat yang ada dalam kehidupan mereka.
Inilah kenapa, sangat wajar ketika para Gen Z tidak mendapatkan ‘kehangatan’ di rumah, mereka akan mencari di luar rumah. Bayangkan, dengan persebaran info di sana-sini, sosial media merajalela, bahaya bisa berada di mana saja, terutama saat anak berada di pergaulan yang salah.
Sejak anak-anak kecil, saya selalu membiasakan anak-anak. untuk bercerita apapun. Istilah zaman now, adalah membangun bonding sedini mungkin. Melalui kedekatan yang dibangun dari awal, anak-anak jadi terbiasa menyampaikan pendapat, hinggga mengutarakan segala keresahan. Dengan kata lain, tanpa disadari, saya menciptakan lingkungan berkomunikasi dengan anak-anak, yang ‘buah’nya bisa saya nikmati sekarang.
Jam pulang sekolah, terutama saat saya yang menjemput, begitu masuk mobil, anak-anak langsung berebut bercerita. Atau kadang di saat tertentu, saya berbicara face to face, one by one, entah itu sambil makan bareng, duduk bersama, intinya anak-anak menumpahkan unek-uneknya.
Otomatis, disinilah terbentuk sebuah koneksi, yang terekam sepanjang hayat.
Gen Z Butuh Koneksi, Bukan Kendali
Suatu hari, teman si sulung bertanya, “Cal, kamu suka cerita gak ke Ibu atau Bapakmu?”. Spontan Ical langsung menjawab, ‘iya’. “Wah enak ya, aku gak bisa kek gitu”.
Saya dan para generasi millenial, ketika perputaran media belum seperti saat ini, menuangkan perasaan dan emosi melalui tulisan di diary, sebenarnya itu sudah cukup. Ya, atau sesekali ngobrol dengan teman yang sudah masuk kategori sahabat terpercaya. Saya sendiri, kadang juga bercerita ke Ibu, meski masa saya remaja, belum punya kedekatan cukup mendalam dengan Ibu.
Tapi zaman sekarang, ketika seorang anak tidak mendapatkan tempat menaungkan cerita, ia bisa berkeluh kesah di sosial media, bahkan tindakannya bisa melukai bukan hanya diri sendiri, tapi juga mendatangkan hujatan banyak orang.
Membangun kedekatan ke anak sejak dini, ternyata sangat memberi dampak positif pada kesehatan mental Gen Z.
Generasi Z memang butuh rasa percaya dan dipercaya untuk menguatkan koneksi. Kita, meski sebagai Ibu yang mengandungnya selama 9 bulan 10 hari, menyusui 2 tahun, membesarkan dengan segala jerih payah, lantas tidak serta bisa semau kita memberi koridor kendali.
Jangankan Gen Z, para generasi Millenial pasti juga tidak suka dengan kendali, apalagi berlebihan.
Secara naluriah, tiap manusia itu butuh kebebasan berekspresi. Tentu saja, dengan tetap ada batasan. Batasan ini berbeda dengan kendali. Batasan lebih berupa arahan yang menjadi landasan, sementara kendali ini seperti tali pengekang yang terkesan meyakitkan.
Jika kita terus menerapkan kendali yang ketat, tanpa membangun koneksi yang sehat, maka bukan kedekatan yang tercipta, melainkan jarak.
Lalu, bagaimana seharusnya kita, sebagai orang tua, membangun koneksi dengan para Gen Z ?
Kuncinya ada pada komunikasi yang tulus dan penuh empati.
Dengarkan tanpa buru-buru menghakimi. Beri mereka ruang untuk bercerita tanpa takut disalahkan. Tunjukkan bahwa kita ada, bukan hanya untuk menasihati, tetapi juga untuk memahami.
Sering kali, orang tua ingin anak-anaknya tumbuh kuat, tangguh, dan berani menghadapi dunia. Namun, kita lupa bahwa kekuatan sejati tidak muncul dari tekanan, melainkan dari dukungan. Ketika anak merasa didengar, dihargai, dan dipercaya, mereka akan lebih mudah membuka diri dan menerima arahan tanpa merasa dikendalikan.
Gen Z memang hidup di zaman yang berbeda, tetapi kebutuhan mereka untuk dicintai dan diterima tetap sama seperti generasi sebelumnya. Bedanya, mereka tidak bisa dipaksa dengan cara lama.
Mereka butuh ibu yang bisa menjadi teman bicara, bukan hanya pemberi perintah. Mereka butuh bimbingan, bukan sekadar aturan. Dan yang paling penting, mereka butuh merasa aman untuk menjadi diri mereka sendiri tanpa takut kehilangan kasih sayang dari orang tuanya.
Jadi, sebagai orang tua, apakah kita masih ingin mengendalikan, atau mulai membangun koneksi yang lebih bermakna?