“Ah, jadi ibu rumah tangga sih enak. Bisa tidur siang, bisa me time kapan aja, bisa lebih pantau anak kapan pun”. Masih sering mendengar pertanyaan seperti ini? Yes, sadly, itulah pendapat yang memang sering bermunculan di sekitar kita.
Penilaian bahwa dengan seorang perempuan memilih menjadi IRT adalah kesempatan untuk bersantai lebih banyak.
Untuk sekian bulan atau bahkan minggu, bisa saja pendapat tersebut benar adanya. Tapi coba, ketika berlangsung hingga tahunan. Justru yang akan terjadi adalah sebaliknya. Seperti yang saya pernah alami sendiri, bahwa menjadi ibu rumah tangga, ternyata tidak semudah itu.
Bukan hanya penyesuaian ke ritme pekerjaan domestik, tapi lebih kepada managemen emosi yang makin hari makin berantakan.
Saat awal menjalani peran sebagai ibu rumah tangga, mungkin ada euforia tersendiri. Bisa menghabiskan lebih banyak waktu di rumah, dekat dengan anak-anak, dan mengatur segalanya sesuai keinginan. Namun, seiring berjalannya waktu, tantangan yang sebenarnya makin terasa. Rutinitas yang berulang, beban mental yang tak terlihat, dan ekspektasi yang datang dari berbagai arah membuat peran ini jauh dari kata “santai”.
Peran yang terlihat monoton ini akhirnya menjadi sesuatu beban yang terasa berat. Hingga pada satu titik, malas untuk melakukan aktivitas bermakna. Mager, inilah istilah yang saat ini sering digunakan. Padahal waktu terus berjalan, tetapi kita justru terjebak dalam lingkaran kebiasaan yang membuat kita semakin jauh dari potensi diri. Semakin lama membiarkan diri larut dalam rasa malas, semakin sulit pula untuk bangkit dan menemukan kembali semangat yang dulu pernah ada.
Mager Ala Ibu-Ibu Rumah Tangga
Mager atau malas gerak, bukan berarti memang sebuah bentuk kemalasan untuk bergerak secara sesungguhnya. Dalam bahasan kali ini, kita melihatnya sebagai sebuah excuse yang akhirnya menghambat. Mager yang terjadi, bisa terjadi karena IRT merasa tidak produktif lagi seperti saat masih bekerja di kantor.
Padahal, magernya seorang IRT, tetap saja sibuk. Bangun lebih pagi, menyiapkan segala sesuatu untuk suami dan anak-anak, hingga harus tetap menjalankan pekerjaan rumah meskipun badan sudah terasa lelah. Mager bagi ibu rumah tangga bukanlah sekadar ingin bermalas-malasan, tetapi lebih ke kondisi kelelahan fisik dan mental akibat rutinitas yang terus berjalan tanpa henti.
Kebosanan rutinitas ini bisa berujung pada pencarian pelampiasan, misal dengan menonton drama korea atau terjebak scrolling sosial media berlarut-larut. Sedikit demi sedikit, namun akhirnya mampu menjadi jamur yang menyebar dan menggerogoti waktu produktif. Akhirnya, tanpa disadari, banyak hal yang seharusnya bisa dilakukan malah tertunda karena mager yang semakin mengakar.
Kenapa Makin Mager, Makin Stres?
Tanpa disadari, mager yang berkepanjangan justru membuat stres semakin bertambah. Awalnya mungkin terasa menyenangkan—rebahan, scrolling media sosial, nonton drama, atau sekadar duduk diam tanpa melakukan apa-apa. Tapi semakin lama dibiarkan, semakin muncul rasa bersalah karena banyak hal yang tertunda.
-
Semakin Mager, Semakin Banyak Tugas Menumpuk
➝ Pekerjaan rumah tetap ada, bahkan bertambah. Semakin malas bergerak, semakin banyak pekerjaan yang tertunda, akhirnya jadi overwhelmed dan makin stres. -
Merasa Tidak Produktif, Tapi Tidak Punya Energi untuk Bergerak
➝ Pikiran dipenuhi dengan “seharusnya aku melakukan ini”, tapi tetap enggan bergerak. Akhirnya, malah merasa bersalah dan makin terjebak dalam mager. -
Mencari Pelarian yang Sementara, Tapi Malah Ketagihan
➝ Niatnya cuma mau rebahan sebentar, tapi malah keasyikan melakukan aktivitas tidak produktif. Bukannya segar, justru makin lelah dan kehilangan waktu produktif. -
Kurangnya Aktivitas Fisik Membuat Tubuh Lemah
➝ Semakin jarang bergerak, semakin malas untuk mulai lagi. Padahal tubuh yang aktif justru membantu meningkatkan energi dan suasana hati. -
Mager Membuat Pikiran Overthinking
➝ Saat tidak melakukan apa-apa, pikiran justru berputar tanpa arah, memikirkan hal-hal yang belum selesai atau membandingkan diri dengan orang lain. Ini membuat stres semakin tinggi.
Bagaimana Cara Keluar dari Lingkaran Mager?
Mulai dari Hal Kecil
Jangan langsung memaksa diri untuk produktif secara drastis. Cukup mulai dengan satu tugas kecil, seperti membereskan meja atau bangun dari tempat tidur lebih cepat.
Gunakan Teknik 5 Menit
Jika merasa berat untuk mulai, lakukan sesuatu selama 5 menit saja. Biasanya, setelah mulai, kita akan lebih mudah melanjutkan.
Buat Rutinitas Kecil yang Menyenangkan
Sisipkan aktivitas yang bisa membangkitkan semangat, seperti stretching ringan, mendengarkan musik, atau menulis jurnal.
Kurangi Distraksi yang Memicu Mager Berlebihan
Jika sering terjebak scrolling media sosial, coba batasi waktu penggunaan HP atau gunakan aplikasi pengingat agar tidak kebablasan.
Ingat Tujuan Lebih Besar
Tanyakan pada diri sendiri, “Jika aku tetap seperti ini, bagaimana perasaanku nanti?”. Ingat lagi tujuan besar yang bisa kita capai dengan lebih aktif dan banyak beraktivitas yang penuh manfaat.
Bagaimana Talents Mapping Membantu Ibu Rumah Tangga Stop Mager?
Bisa dibilang, Talents Mapping membantu saya, beranjak dari ibu rumah tangga linglung ‘yang bingung harus ngapain’, menjadi punya aktivitas berarti dan memenuhi kebutuhan diri.
Sebelumnya saya tidak menyadari, dengan bersantai-santai, meninggalkan kegiatan yang awalnya bikin saya on fire, ternyata bisa menganggu kesehatan mental sebegitu dalamnya.
Menulis, podcast, voice over, adalah beberapa aktivitas yang saya pernah tinggalkan begitu saja. Saya tidak menyangka, ternyata rangkaian kegiatan tersebut bukan hanya sebagai wadah untuk memberi ruang hobby berekspresi, tapi juga karena bakat-bakat kuat juga perlu saluran yang tepat.
Sebagai seseorang dengan bakat communication kuat, yang memang secara alamiah perlu sarana untuk menyampaikan pesan, baik itu tertulis maupun lisan. Bayangkan, ketika bertahun-tahun saya hanya banyak di rumah saja, berinteraksi dengan anggota keluarga saja, menutup diri tidak kontak dengan teman-teman yang saya pernah akrab, bahkan tidak menuangkan komunikasi melalui tulisan. Wajar tho, jika akhirnya kondisi mental makin morat-marit.
Lalu, kenapa dulu sempat memutuskan untuk beraktivitas produktif? Tidak bisa dipungkiri, terpicu oleh emosi yang masih labil. Tapi sayangnya, saya ikuti emosi tersebut terus-menerus. Saya sendirilah yang izinkan ‘keterpurukan’ itu menguasai.
Cara kerja otak, salah satunya adalah suka dengan hal yang berlangsung secara berulang. Permasalahannya, selama rentan waktu yang sudah kita lalui, benih apa yang sudah kita tanamkan dalam memori kita sendiri?
Jika yang tertanam adalah kebiasaan menunda, menghindari tantangan, dan merasa nyaman dalam zona mager, maka otak akan terus mencari cara untuk mempertahankan pola itu. Sebaliknya, jika kita mulai menanam kebiasaan yang mendukung potensi diri—meski awalnya terasa berat—maka seiring waktu, hal itu akan menjadi bagian dari keseharian kita.
Talents Mapping membantu saya menyadari bahwa setiap orang punya energi alami dalam dirinya, yang jika disalurkan dengan tepat, bisa membawa perubahan besar dalam hidup. Saya mulai melihat bahwa aktivitas produktif yang dulu saya tinggalkan, sebenarnya bukan sekadar ikut-ikutan belaka, tetapi juga kebutuhan mental dan emosional saya.
Saya pun putuskan mulai melangkah lagi. Tidak dengan langkah besar yang membebani, tetapi dengan langkah kecil yang bisa saya lakukan setiap hari. Saya kembali menulis, meski hanya satu paragraf. Saya mulai berbicara lagi, meski hanya melalui rekaman suara singkat. Saya kembali berbagi, meski hanya dengan satu orang di awal.
Ternyata, ketika saya mulai bergerak, energi saya ikut terangkat. Saya tidak lagi merasa ‘kosong’ atau kehilangan arah. Saya semakin yakin bahwa ketika ibu rumah tangga mengenali bakat dan potensinya, lalu mengalokasikan waktu untuk menyalurkannya, bukan hanya dirinya yang merasa lebih hidup tetapi juga keluarganya yang merasakan dampak positifnya.
Hal ini memang menunjukkan bahwa tiap bakat kuat yang kita miliki, sebenarnya butuh regulasi dan daya tampung yang sesuai, supaya menjadi lebih dewasa dan terkendali.
Jadi, kalau kita sedang merasa terjebak dalam zona mager, mungkin sudah saatnya bertanya:
Apakah saat ini sedang mengabaikan bakat dan potensi diri sendiri? Sampai kapan, kita izinkan diri sendiri seperti perahu yang terombang ambing tanpa arah?