Akhirnya, setelah bertahun-tahun, saya berhasil melepaskan kemelekatan terhadap 2 hal yang ‘pernah saya nilai penting dan berharga’ dalam hidup, dengan cara nyaman dan makin menumbuhkan rasa syukur luar biasa.
Pertama, Trans TV Jakarta
Ya, sejak resign hampir 20 tahun lalu, ternyata ‘merasa keren jadi karyawan televisi yang berlokasi di Mampang Prapatan – Jakarta itu’, masih saja suka menganggu. Saya semacam terikat begitu kuat dengan memori seru dan asyiknya saat bekerja disana. Penyesalan terbesar saat itu adalah, resign dengan emosi negatif begitu besar. Saya yang masih muda, baru lulus kuliah, ternyata belum mampu mengelola emosi dengan baik. Ketika seorang senior berkata kasar dan menohok, saya langsung tidak kuat. Hal ini bersamaan dengan kerabat yang menawarkan pekerjaan di kantornya, dengan gaji 2x lipat. Tanpa pikir panjang, tanpa konsultasi ke siapapun, saya pun langsung memutuskan resign.
Yang bikin nyesek bertahun-tahun adalah, bekerja di Trans TV adalah sebuah prestasi buat saya pribadi. Bahkan banyak pemuda-pemuda masa itu, berebutan masuk di televisi yang digawangi Pak Ishadi dan Mas Wishnutama.
Mengalahkan ratusan ribu pelamar, sekaligus menghidupkan mimpi-mimpi masa kecil, inilah kesan terdalam saya saat mampu menjadi salah satu karyawan Trans TV.
Setelah resign, saya masih sering nonton acara Trans TV, terutama acara ulang tahun tiap akhir tahun. Tanpa saya sadari, saya sering menangis melihat kemegahan acara. Membayangkan kalau saya masih bekerja disana, pasti “hidup saya lebih hidup’, karena ternyata dengan bergabung di perusahaan kerabat, hanya sindiran yang saya dapatkan dari sesama karyawan disana. Menilai saya masuk karena koneksi direktur (ya memang begitu adanya, dan ini tidak saya perhitungkan sebelumnya). Ditambah dengan pekerjaan yang ternyata bukan passion saya. Meski saat di Trans TV, saya kadang bisa lembur sampai dini hari, dan ini tidak ada tambahan gaji, tapi nyatanya saya lebih menikmati.
“Kamu beneran mau resign, Na?”, ucap Bang Jun, Executive Producer saya waktu itu. Padahal saat itu, saya mendapat kesempatan ikut RAKOR tahunan, dan tanpa saya paham, ternyata hanya karyawan terpilih yang bisa ikut acara tersebut. “Oh, I was so naif that time”, ini pikiran yang sering melintas sebelum saya benar-benar bisa melepas secara ikhlas. Bahkan, kadang berpikir, betapa bodohnya saya, melihat sinyal bahwa beberapa senior dan pimpinan sudah melihat potensi besar saya di dunia pertelevisian. Teman saya 1 batch, Dani asal Jogja, sempat bilang, “Wah, inna keren banget ide-idenya, the next Mas Wishnutama”.
Kedua, Dunia Suara (VO & Kepenyiaran Radio)
Kegagalan managemen emosi saya di Trans TV, setelah ditelusuri lebih dalam, memang tidak datang begitu saja. Tapi ini adalah rentetan kejadian berulang.
Saat SMP, saya pernah ikut lomba menyanyi, lalu mendapat juara harapan 3. You know, saya langsung mengurung diri di kamar selama beberapa hari.
Saat masih siaran di zaman kuliah, saya pernah ikut lomba presenter berita. Again, inipun saya kalah meski sempat masuk semifinal, sementara teman seangkatan di radio lanjut ke tahap berikutnya. Setelah kekalahan ini, saya begitu marah dan kecewa.
Emosi negatif yang melingkupi inilah, yang membawa saya 2x keluar dari radio berbeda, karena emotional burnout.
Menjadi penyiar adalah cita-cita saya sejak SMP kelas 1, setelah Bapak membelikan radio tape recorder. Ketika tercapai beberapa tahun kemudian, saat duduk di bangku kuliah semester 3, ini seperti doa yang terkabulkan. Hingga hadirlah rasa tidak rela, tidak ikhlas, menghantui terus-menerus.
Bisa dibilang, saya cukup tersiksa dengan perasaan lekat dengan dunia radio dan televisi yang pernah saya geluti. Bahkan saya berusaha untuk masuk kembali ke dunia suara, melalui voice over. Ya, saya sempat berhasil mendapat job jutaan beberapa kali, tapi sayangnya lagi-lagi karena saya lelah secara emosi, dan bertepatan dengan melahirkan + tinggal di tempat mertua, energi saya berasa habis-habisan. Hingga beberapa waktu lalu, saya berpikir balik lagi ke VO, ikut kelas, sempat mendapatkan job juga, tapi akhirnya saya putuskan untuk berhenti dan melepaskan.
“Attachment is a form of self-centered desire. It leads to suffering.”
– Dalai Lama
Ya melepaskan, kemelekatan, kelekatan atau attachment baik secara lahir dan batin dengan sesuatu ataupun seseorang. Inilah yang saya alami 20 tahun terakhir.
Makin kita melekat ke sesuatu hal, maka ini menjadi semacam obsesi yang menjurus pada energi negatif yang justru membuat kita jadi menderita.
Bukankah melekat itu bagus? Misal antara ibu dan anak. Iya tapi ketika sampai anak atau ibu merasa sangat ketakutan kehilangan anak-anaknya, ini juga menimbulkan kecemasan yang bisa menganggu beragam aktivitas.
Ciri-Ciri Kemelekatan Tidak Sehat Lagi
1. Identitas Terlalu Terikat pada Orang atau Sesuatu
Kita mulai merasa bahwa identitas kita bergantung sepenuhnya pada orang atau hal tertentu. Saat kita tidak memiliki orang tersebut atau tidak mencapai hal yang kita harapkan, kita merasa kehilangan diri.
Contoh:
-
Merasa “tidak lengkap” tanpa pasangan, pekerjaan, atau status tertentu.
-
Memastikan bahwa kita hanya bisa merasa puas atau dihargai jika memiliki benda tertentu, seperti gadget terbaru atau pakaian merek terkenal.
2. Kecemasan Berlebihan dan Takut Kehilangan
Ketika kita melekat pada sesuatu atau seseorang, kita merasa cemas berlebihan dan khawatir kehilangan hal itu. Perasaan takut atau panik sering muncul ketika ada perubahan atau ketidakpastian terkait orang atau hal yang kita lekatkan.
Contoh:
-
Merasa cemas jika pasangan tidak memberi kabar dalam waktu yang lama.
-
Mengalami kecemasan jika pekerjaan atau posisi kita terancam atau berubah.
-
Takut kehilangan atau kecewa jika benda atau barang yang kita sayangi rusak atau hilang.
3. Ketergantungan Emosional yang Tidak Sehat
Ketergantungan emosional terjadi ketika kita merasa tidak bisa bahagia atau merasa tidak cukup tanpa orang atau sesuatu tersebut. Kita mengandalkan orang atau benda itu untuk memenuhi kebutuhan emosional kita, yang justru membuat kita menjadi lebih rentan dan tidak mandiri.
Contoh:
-
Merasa tidak bisa tenang atau bahagia jika tidak ada pasangan atau orang tertentu di sisi kita.
-
Bergantung pada suatu barang atau tujuan untuk merasa dihargai atau puas, misalnya hanya merasa berharga setelah mendapat pengakuan atau status tertentu.
4. Perasaan Tidak Puas Meskipun Sudah Mendapatkan Apa yang Diinginkan
Kemelekatan yang tidak sehat menyebabkan perasaan tidak puas meskipun kita sudah mencapai apa yang kita inginkan. Kesenangan dan kepuasan menjadi sementara, dan kita selalu merasa kurang atau ingin lebih.
Contoh:
-
Walaupun telah berhasil mencapai target atau tujuan tertentu (seperti promosi pekerjaan, pencapaian akademik, atau membeli barang yang diinginkan), kita tetap merasa kosong atau tidak bahagia.
-
Tidak merasa puas dengan hubungan yang ada dan terus mencari kepastian atau validasi dari pasangan.
5. Kesulitan Beradaptasi atau Melepaskan
Kemelekatan yang tidak sehat membuat kita sulit beradaptasi ketika seseorang atau sesuatu yang kita lekatkan hilang atau berubah. Ini menyebabkan perasaan stagnasi dan kesulitan untuk menerima perubahan dalam hidup kita.
Contoh:
-
-
Merasa kesulitan beradaptasi setelah perubahan besar dalam hidup (misalnya perubahan karier, perpisahan dengan seseorang, atau kehilangan benda yang kita anggap penting).
-
Menolak untuk berubah atau berkembang karena merasa nyaman dengan status quo atau zona nyaman yang melekat pada sesuatu atau seseorang.
-
Lalu, Bagaimana Cara Letting Go Terhadap Kemelakatan?
1. Mindfulness (Kesadaran Penuh)
Mindfulness membantu kita untuk hidup sepenuhnya di saat ini, tanpa terlalu terikat pada masa lalu atau masa depan. Dengan fokus pada detik ini, kita bisa lebih mudah menerima kenyataan dan melepaskan ketergantungan pada hal-hal tertentu.
Apa yang bisa dilakukan:
-
Lakukan latihan mindfulness, seperti journaling, pernapasan dalam, atau hanya fokus pada kegiatan sehari-hari tanpa gangguan pikiran berlebihan.
-
Cobalah berjalan perlahan dan sepenuhnya sadar akan lingkungan sekitar. Ini membantu mengurangi kekhawatiran dan perasaan terikat.
2. Ubah Perspektif Tentang Kepemilikan dan Ketergantungan
Kemelekatan sering kali berasal dari persepsi kita bahwa kita “memiliki” atau sangat bergantung pada sesuatu atau seseorang untuk merasa lengkap. Mengubah perspektif ini bisa membantu kita menyadari bahwa kebahagiaan kita tidak seharusnya bergantung pada hal eksternal.
Apa yang bisa dilakukan:
-
Cobalah untuk melihat segala sesuatu sebagai sementara dan tidak mutlak. Ketika kita merasa melekat pada sesuatu, ingatkan diri bahwa kita tidak “memiliki” apapun secara permanen.
-
Renungkan apakah kebahagiaan kita benar-benar bergantung pada suatu benda, status, atau hubungan tertentu.
3. Latihan Menerima Ketidakpastian dan Perubahan
Salah satu kunci untuk melepaskan kemelekatan adalah menerima bahwa hidup penuh dengan perubahan dan ketidakpastian. Tidak ada yang tetap dalam hidup ini, dan kita harus belajar untuk menerima perubahan dengan lebih terbuka.
Apa yang bisa dilakukan:
-
Latih diri untuk menerima perubahan kecil dalam hidup yang mungkin terasa menantang. Misalnya, ubah rutinitas harian atau terima ketidaksempurnaan dalam situasi yang terjadi.
-
Praktikkan afirmasi yang membantu merasa lebih nyaman dengan ketidakpastian, seperti: “Perubahan adalah bagian dari hidup, dan aku siap untuk beradaptasi.”
4. Ciptakan Rasa Cukup dalam Diri Sendiri
Salah satu alasan mengapa kita melekat pada orang atau benda tertentu adalah karena merasa tidak cukup atau tidak lengkap tanpa itu. Dengan membangun rasa cukup dalam diri sendiri, kita tidak lagi merasa perlu bergantung pada hal luar untuk merasa bahagia atau bernilai.
Apa yang bisa dilakukan:
-
Fokus pada pengembangan diri dan kualitas yang kita miliki tanpa bergantung pada orang lain atau barang tertentu.
-
Cobalah melakukan kegiatan yang meningkatkan rasa percaya diri, seperti hobi, olahraga, atau kegiatan yang memberi kepuasan batin.
5. Berlatih Melepaskan dengan Kesadaran Diri
Melepaskan kemelekatan membutuhkan kesadaran diri yang tinggi. Ini berarti kita perlu benar-benar mengenali kapan dan mengapa kita melekat pada sesuatu. Dengan kesadaran ini, kita bisa memilih untuk melepaskan dengan lebih tenang.
Apa yang bisa dilakukan:
-
Lakukan refleksi rutin, untuk menyadari perasaan dan ketergantungan terhadap sesuatu.
-
Ketika perasaan melekat muncul, beri diri ruang untuk merenung dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah ini yang benar-benar aku butuhkan untuk merasa nyaman?”
Melepaskan kemelekatan bukanlah hal yang mudah, terutama ketika hal tersebut sudah begitu lama membentuk bagian dari identitas kita. Namun, dengan kesadaran penuh dan usaha yang konsisten, kita bisa mulai mengurangi ikatan yang membuat kita terperangkap dalam perasaan negatif. Setiap langkah yang diambil menuju penerimaan dan pemahaman diri adalah investasi berharga untuk kebahagiaan sejati.
Saat kita belajar untuk menerima bahwa hidup ini penuh dengan perubahan dan ketidakpastian, kita akan semakin mampu hidup dengan lebih ringan, bebas dari beban emosional yang tidak perlu. Rasa cukup dalam diri sendiri pun menjadi kunci untuk merasa utuh tanpa bergantung pada hal-hal luar. Semua proses ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan waktu, kesabaran, dan keberanian. Begitu kita melepaskan, kita membuka ruang untuk pertumbuhan dan pengalaman baru yang lebih positif.
Melepaskan kemelakatan ini bukan karena kita kalah, tapi justru kemenangan karena berani memutuskan menjadi versi terbaik diri dengan lebih nyaman.
Jadi, bagaimana jika kita mulai membebaskan diri dari ikatan-ikatan yang menahan kita, dan memberikan ruang untuk kehidupan yang lebih bebas dan penuh makna?