Drakor oh drakor. Salah satu yang menghiasi hidup jutaan atau bisa dibilang milyaran manusia di muka bumi ini. Kalau dulu drakor identik ditonton sama emak-emak rebahan, ternyata sekarang sudah menjamur ke lelaki-lelaki muda. Bahkan diantaranya jadi content creator mengulas tentang rekomendasi drama korea.
Saya sendiri mengenal drakor ketika pandemi covid-19. Setiap hari di rumah, ya maksudnya tiap hari juga di rumah, tapi ini literally 100% di rumah. Kegiatan antar anak sekolah maupun les, semua berhenti. Semacam gabut akhirnya mulai mencicipi drakor.
Drakor pertama yang saya tonton adalah Go Back Couple, yang mengusung Jang Nara sebagai main actress talentnya. Nah, sejak itu, kok semacam pengen nonton lainnya lagi. Pas banget, sedang running World of Married. Beh, langsung tuh, mantengin tiap minggu menunggu episode terbarunya.
Bisa ditebak, setelah itu, penasaran pengen nonton series lainnya lagi, lagi, dan lagi.
Hingga tanpa saya sadari, sekitar kurang lebih 4 tahun, saya kecanduan drakor. Meskipun awalnya drakor cuma buat pelengkap aktivitas masa pandemi, ternyata meski covid sudah berlalu, saya tetap melanjutkan aktivitas nonton ini, baik marathon maupun drama yang on going.
Kenapa Mengklaim Diri Sendiri Kecanduan Nonton Drama Korea? Apa Tandanya?
Pertama dan utama adalah, tiada hari tanpa drakor. Bela-belain begadangan buat nonton drama korea. Niatnya cuma 1 episode, eh keterusan sampai Subuh. Waktu itu, si bungsu masih nenen, jadi ibaratnya jam tidur masih banyak. So, ketika Aga tidur siang yang cukup panjang durasinya, saya bisa membalaskan ngantuk di jam tersebut. Parahnya, begadang ini saya lakukan hampir tiap hari.
Kedua, sampai ke tahap, hapal dengan para pemainnya, terutama yang memang benar-benar menonjol kualitas aktingnya. Just name it, you’ll be surprised, how rich my KDrama knowledge! Bahkan langganan, hampir semua channel yang sekiranya menayangkan drakor baru dengan rating bagus. Ya, meski ‘candu’ ternyata saya juga sangat pemilih dalam menonton drakor.
Ketiga, FOMO! Takut banget telat dengan segala informasi terbaru tentang drakor. Entah itu rekomendasi terbaru sampai ke para pemainnya. Seaddict itu!
Keempat, berkurang aktivitas produktif! Lebih memilih untuk menyiapkan waktu buat nonton drakor dibanding mengerjakan aktivitas lainnya. Otomatis, sudah tidak pernah menulis di blog, stop segala aktivitas yang sebelumnya punya makna. Banyak target terbengkalai, dan produktivitas benar-benar kacau.
Kelima, mood berantakan. Inilah yang membuat saya akhirnya tersadar, bahwa nonton drakor secara brutal, bisa bikin suasana mood hancur lebur. Kalau tidak nonton, bikin resah. Kalau habis nonton pun, juga sama, malah makin menjadi-jadi, karena langsung searching target tontonan berikutnya.
Bakat Empathy Kuat, Gampang Terjebak Kecanduan Drakor?
Setelah mendalami Talents Mapping, saya lalu menyadari, seseorang dengan bakat empathy yang kuat, cenderung gampang ‘nyangkut’ secara emosional dengan cerita di dalam drama.
Ini bisa jadi berkah karena lebih bisa menikmati cerita dengan mendalam, tapi juga bisa menjadi jebakan kalau sampai terlalu larut dalam emosi yang ditampilkan.
Alur drakor yang begitu menarik perasaan, ikut sedih, marah, bahagia, bahkan sampai kepikiran lama setelah dramanya selesai. Bahkan tidak jarang, merasa terhubung dengan karakter pemain. Belum lagi, perasaan berbunga-bunga yang bisa memberikan efek ‘ngefly’ tersendiri.
Hal ini sangat wajar, karena bakat empathy memang secara alamiah mampu merasakan emosi yang ada di sekitarnya dengan mudah, spontan dan alamiah.
Terkadang, perasaan yang muncul itu begitu kuat hingga memengaruhi suasana hati sepanjang hari. Dalam beberapa kasus, bisa timbul keinginan untuk kembali menonton drama yang sama atau mencari cerita serupa hanya untuk mengisi kekosongan emosional yang ditinggalkan.
Pecinta Drakor itu Orang-Orang yang sedang Mentally Breakdown?
Saya jawab dengan lantang, YES! At least, that’s my personal experience.
Memang, awal saya nonton drakor, hidup saya masih terbilang stabil. Lalu, ada badai luar biasa yang datang, ini membuat candu itu muncul. Semacam menggerogoti dari dalam. Apalagi setelah melahirkan, tinggal di rumah mertua dengan segala kondisinya, membuat emosi saya carut marut. Drakor menjadi seperti tempat berlabuh termudah tercepat. Ditambah LDM lagi dengan suami. Duerrrr! Mental health berasa terkoyak-koyak.
Berhari-hari merasa seperti zombie. Menjalani rutinitas tanpa jiwa, sekadar bergerak karena harus, bukan karena ingin. Tapi begitu malam tiba, saat anak-anak tidur dan rumah mulai hening, drakor adalah pelarian terbaik.
Drakor menjadi semacam dunia lain yang bisa saya masuki tanpa syarat. Tertawa, menangis, marah, atau sekadar tenggelam dalam cerita yang jauh dari realita. Ironisnya, meski saya tahu itu hanya sementara dan paham bahwa efeknya melelahkan, tapi menjadi aktivitas berulang yang memabukkan.
Semakin kacau perasaan, semakin banyak episode yang saya tonton. Seakan-akan, dengan menyelami kisah orang lain, saya bisa mengabaikan rasa sakit saya sendiri. Ada kelegaan, tapi juga ada kekosongan yang makin menganga.
Sampai pada titik dimana saya mulai bertanya: Apakah ini benar-benar membantu? Atau justru memperburuk keadaan?
Sure, it’s getting worst. Lebih tepatnya, I’m getting worst.
Bagaimana Akhirnya Saya Bisa Keluar dari Kecanduan Drakor?
Jujur, sudah sangat capek. Lelah. Mental makin down, makin awut-awutan.
Saya yang terbiasa sibuk dan produktif sejak SMA, jadi merasa kosong. Hampa. Useless. Hopeless.
At some point, saya memutuskan bangkit. Terutama dalam hal managemen nonton drakor.
Awalnya tidak mudah. Drakor sudah menjadi rutinitas, semacam coping mechanism yang saya gunakan tanpa sadar. Tapi saya tahu, kalau dibiarkan terus, saya akan semakin tenggelam.
Saya mulai dengan membatasi waktu menonton. Dari yang dulu bisa marathon sampai dini hari, saya mencoba hanya menonton satu atau dua episode per hari. Bahkan, saya sengaja memilih drama yang episodenya tidak terlalu panjang, agar tidak mudah tergoda untuk terus lanjut.
Lalu, saya mencari aktivitas lain yang bisa menggantikan peran drakor sebagai pelarian. Mulai menulis lagi, sesuatu yang dulu saya cintai tapi sempat saya tinggalkan. Saya juga mencoba lebih sadar dengan perasaan sendiri, mengapa ingin menonton? Apakah benar-benar ingin menikmati ceritanya, atau hanya ingin kabur dari kenyataan?
Saya juga menyadari bahwa selama ini saya terlalu keras pada diri sendiri. Saya terbiasa selalu produktif, selalu on, hingga merasa bersalah kalau diam sebentar saja. Padahal, saya juga butuh istirahat, tapi bukan dengan melarikan diri. Saya butuh jeda yang berkualitas.
Perlahan tapi pasti, saya bisa mengelola kebiasaan menonton drakor. Tetap menikmatinya, tapi tidak lagi sebagai pelarian, melainkan sebagai hiburan yang terkontrol. Saya kembali merasa punya kendali atas hidup saya sendiri. Yes, saya masih nonton, kadang 1-2 jam sehari, kadang bahkan tidak sama sekali.
Yang paling penting, I realize that I’m not alone. Banyak orang mengalami hal yang sama, dalam hal kecanduan drakor ini. Berbagi cerita adalah salah satu cara terbaik untuk saling menguatkan.
Apakah kamu merasa drakor mengendalikan hidupmu selama ini? It’s time to wake up. Cari aktivitas produktif berkualitas, you’ll be amazed, your life changes beautifully. Berjuta kali lebih indah dari butterfly effect saat nonton drakor bergenre romance comedy.
Remote itu ada di tangan kita, mau kita pencet lanjutkan terus menerus kebiasaan nonton drakor yang menghabiskan energi? Atau memilih move on, face the reality. So, sudah berani mengambil kendali atas hidup sendiri?