Berkeluarga dan menjadi Ibu, adalah sebuah cita-cita sederhana yang pernah saya bangun, bahkan sejak zaman masih di bangku sekolah.
Bayangan menjadi seorang Ibu yang mengasuh anak-anaknya, seperti sesuatu yang saya idam-idamkan. Rasanya, seperti ada panggilan alami dalam diri untuk merawat dan membesarkan seorang anak
Tumbuh dan besar sebagai anak bungsu, yang sejak kelas 4 SD sudah mulai punya keponakan pertama, berlanjut dengan belasan keponakan lain yang lahir dari ke-4 kakak saya, membuat saya seperti terinspirasi, that It’s gonna be a great moment, when I become a mother.
Tapi apakah demikian yang saya rasakan? Nyatanya, saya justru cukup tertatih menjalani peran sebagai seorang Ibu.
Realita yang saya hadapi ternyata berbeda jauh dari ekspektasi yang saya bayangkan sejak kecil.
Bisa dibilang, saya pernah berada di fase, menyalahkan diri sendiri. Merasa gagal menjadi Ibu. Bertanya-tanya apakah saya benar-benar siap? Mengapa ada rasa lelah yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya? Mengapa ada rasa takut, panik, dan ketidakpastian yang begitu kuat?
Menjadi Ibu itu Ternyata Tidak Mudah, Ya?
Di suatu Selasa sore, tanpa firasat apa pun, saya melihat flek yang keluar. Ibu langsung mengajak saya ke rumah sakit terdekat untuk persiapan melahirkan. Saya yang awalnya tidak begitu paham, hanya bisa menuruti. Rasanya seperti masuk ke fase yang sama sekali baru, penuh ketidakpastian dan kecemasan. Sebelum menuju rumah sakit, saya mencoba menghubungi suami yang saat itu bekerja di Jakarta, meminta dia segera datang.
Hanya membutuhkan sekitar 10 menit untuk sampai di rumah sakit yang terbilang baru di Jogja waktu itu. Saya masuk ke IGD dan menceritakan tentang flek yang keluar sebelumnya. “Baik Bu, kami lakukan pemeriksaan dalam ya?” ujar seorang perawat yang menghampiri saya di bed rumah sakit tersebut.
Tanpa banyak berpikir dan curiga, saya yang masih polos saat itu, menjadi sangat kaget dengan proses cek kondisi pembukaan jalan lahir. Rasa nyeri yang tiba-tiba menyerang membuat saya terkejut. Tapi lebih dari itu, saya panik. Saya mencoba menenangkan diri, tetapi semakin cemas. Ditambah lagi, dengan saya makin panik dan stres, maka dicek berkali-kali pun, pembukaan tidak bertambah secara berarti.
Hai, cuma butuh 10 bukaan aja loh, tapi kenapa lama sekali?
Sampai suami saya datang pun, masih mentok di bukaan 5. Waktu terasa begitu lambat. Saya mulai merasa lelah, tapi tubuh saya terus bekerja, berjuang. Malam berganti pagi. Hingga Rabu malam menuju Kamis dini hari, Dokter Yasmin yang menangani saya waktu itu, melakukan tindakan induksi. Again, saya tidak paham, apa itu induksi? Bagaimana efeknya? Saya hanya tahu bahwa rasa sakitnya luar biasa. Lebih dari yang bisa saya bayangkan.
Setelah proses induksi, tidak makan waktu lama, saya mengalami kontraksi hebat. Tubuh saya seperti kehilangan kendali. Saya makin panik, muntah-muntah, dan merasa kelelahan luar biasa. Pun karena saya tidak punya selera makan sejak masuk rumah sakit, menjadikan saya cukup lemas. Bisa dibilang, tidak ada sisa lagi muntahan yang bisa dikeluarkan. Di saat-saat itu, saya mulai berpikir, bagaimana kalau saya tidak sanggup? Bagaimana kalau saya tidak kuat?
Pada tahap tersebut, saya sudah memohon-mohon untuk operasi sesar. Saya ingin mengakhiri ini semua. Tapi dokter sekaligus suami saya meyakinkan bahwa saya bisa. Kata-kata mereka seolah terdengar dari kejauhan. Antara percaya dan tidak percaya, saya hanya bisa mengikuti arus. Tidak ada pilihan lain.
Atas izin Allah, Kamis jam 3.10 pagi, 18 tahun lalu, anak pertama saya lahir. Seorang bayi laki-laki, sehat, tanpa kurang suatu apa pun. Alhamdulillah.
Rasa lelah dan sakit, seperti terkubur begitu saja, begitu mendengar tangisan bayi yang lahir. Segala kekhawatiran, segala ketakutan, seolah sirna dalam sekejap. Saya menatap wajah mungilnya. Saya menangis, tetapi bukan karena sakit, melainkan karena haru. Ini dia. Anak yang saya impikan selama ini.
Namun, euforia itu tidak bertahan lama. Momen sakit pasca melahirkan sontak muncul lagi ketika proses jahitan jalan lahir yang cukup memakan waktu. Rasa nyeri yang kembali datang mengingatkan saya bahwa perjalanan ini belum selesai. Belum lagi, saya harus menghadapi tantangan berikutnya: menyusui.
Banyak yang bilang, menyusui adalah momen magis yang menghubungkan ibu dan anak. Tapi bagi saya, itu adalah perjuangan yang tak kalah sulitnya. Di saat sebagian Ibu lain sangat mudah mendapatkan limpahan ASI, saya butuh dua mingguan sampai benar-benar keluar dengan lancar. Rasanya frustrasi. Rasanya ingin menyerah.
Saya ingat bagaimana saya menangis saat pertama kali melihat bayi saya menangis kelaparan, sementara ASI saya belum juga keluar. Saya mencoba segala cara, tetapi tetap saja belum cukup. Saya merasa gagal. Saya merasa tidak cukup baik. Bagaimana mungkin saya tidak bisa memberi makan anak saya sendiri?
Di tengah dilema itu, Ibu saya dengan segala kekhawatiran dan kasih sayangnya, menyarankan untuk memberi susu formula. Saya ragu. Saya takut. Tapi saya juga tidak ingin bayi saya kekurangan gizi, atau bahkan mengalami kondisi bayi kuning seperti yang sering dikhawatirkan. Pada akhirnya, saya menyerah. Saya memilih untuk memberikan susu formula. Tapi hati saya remuk.
Berhari-hari setelahnya, saya masih membawa beban rasa bersalah itu. Saya membandingkan diri dengan ibu-ibu lain yang bisa menyusui dengan mudah. Saya mempertanyakan diri sendiri, apa yang salah dengan saya? Apakah ini pertanda bahwa saya bukan ibu yang cukup baik?
Belajar Merangkul Diri Sebagai Seorang Ibu
Setelah melewati fase awal menjadi ibu dengan segala kepanikan, ketakutan, dan rasa tidak percaya diri, saya mulai menyadari satu hal, saya perlu menerima diri saya sendiri, merangkul diri.
Menerima bahwa saya tidak akan selalu sempurna. Menerima bahwa saya mungkin membuat kesalahan. Menerima bahwa saya butuh terus belajar.
Kini, setelah menjadi ibu dari tiga anak dengan rentang usia yang cukup jauh—17 tahun, 13 tahun, dan 3 tahun—saya semakin menyadari bahwa perjalanan ini penuh dengan fase dan tantangan yang berbeda. Setiap anak hadir dengan karakter, kebutuhan, dan cara mereka sendiri dalam melihat dunia. Dan sebagai ibu, saya juga terus berkembang seiring waktu. Tantangan yang saya hadapi saat menjadi ibu baru di usia 22 tahun tentu berbeda dengan tantangan saat mengasuh anak di usia 40-an.
Dulu, saya sering bertanya-tanya, apakah saya sudah cukup baik? Apakah keputusan yang saya ambil benar? Apakah saya telah memberikan yang terbaik untuk anak-anak saya? Setiap pertanyaan itu seperti beban yang terus-menerus menghantui. Saya merasa harus menjadi ibu yang sempurna, yang selalu tahu segalanya, yang tidak boleh gagal.
Tapi semakin saya berjalan dalam perjalanan ini, semakin saya sadar bahwa menjadi ibu bukan tentang menjadi sempurna. Tidak ada manual yang bisa menjelaskan dengan pasti bagaimana menjadi ibu yang baik, karena setiap anak berbeda, setiap keluarga memiliki dinamika unik, dan setiap ibu punya caranya sendiri.
Merangkul diri sebagai seorang ibu berarti menerima diri sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan. Berhenti membandingkan diri dengan ibu-ibu lain. Berhenti memaksakan standar yang tidak realistis.
Saya mulai belajar untuk mendengarkan diri sendiri. Untuk menerima bahwa saya bisa lelah. Untuk memahami bahwa tidak apa-apa meminta bantuan. Untuk menyadari bahwa saya tidak harus bisa segalanya.
Ada masa-masa ketika saya merasa gagal, tetapi ada juga saat-saat ketika saya merasa bangga. Bangga melihat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang unik, dengan pemikiran dan impian mereka sendiri. Bangga melihat bagaimana mereka menghadapi dunia dengan cara mereka. Bangga bahwa, meskipun saya pernah merasa ragu, saya tetap bertahan dan terus belajar.
Dulu, saya berpikir bahwa saya yang akan mengajarkan banyak hal kepada anak-anak saya. Tapi nyatanya, mereka yang mengajarkan saya lebih banyak hal. Mereka mengajarkan saya untuk bersabar, untuk lebih peka, untuk bisa tertawa di tengah kelelahan. Mereka mengajarkan saya bahwa cinta seorang ibu tidak diukur dari seberapa sempurna ia menjalani peran ini, tetapi dari bagaimana ia tetap berusaha, meskipun kadang merasa ragu dan lelah.
Kini, setelah 18 tahun menjadi ibu, saya semakin menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang membesarkan anak-anak, tetapi juga tentang membesarkan diri sendiri. Saya tumbuh bersama mereka. Saya belajar bersama mereka. Dan saya tahu, perjalanan ini masih panjang.
Tapi satu hal yang pasti: saya akan terus berjalan. Dengan semua pelajaran yang telah saya terima, dengan semua pengalaman yang telah saya lewati, dengan semua cinta yang telah saya rasakan.
Pesan untuk Para Ibu Baru & Calon Ibu
Menjadi seorang ibu adalah perjalanan yang unik bagi setiap orang. Tidak ada satu pun yang benar-benar siap, karena selalu ada tantangan baru di setiap fase kehidupan anak. Namun, ada beberapa hal yang bisa membuat perjalanan ini lebih ringan, yaitu belajar dan menikmati prosesnya.
1. Belajar Adalah Kunci
-
Ilmu parenting bukan sekadar teori. Setiap anak itu unik, dan apa yang berhasil untuk satu ibu belum tentu cocok untuk ibu lainnya. Karena itu, belajar tentang parenting harus disertai dengan kebijaksanaan dalam menerapkannya.
-
Belajar dari pengalaman. Tidak semua jawaban bisa ditemukan dalam buku atau seminar. Kadang, pengalaman sendiri adalah guru terbaik. Berani mencoba, melakukan kesalahan, lalu memperbaikinya adalah bagian dari proses.
-
Terbuka untuk bertanya dan berdiskusi. Tidak perlu merasa malu atau rendah diri jika belum tahu sesuatu. Bergabung dalam komunitas ibu, berdiskusi dengan teman yang lebih dulu menjadi ibu, atau berkonsultasi dengan ahlinya bisa sangat membantu.
2. Cari Ilmu Sambil Terus Menikmati Perjalanan
-
Jangan terburu-buru ingin menjadi ibu yang sempurna. Tidak ada ibu yang langsung ahli sejak hari pertama. Nikmati setiap momen, baik suka maupun dukanya.
-
Fokus pada momen bersama anak. Terkadang, kita terlalu sibuk mencari ilmu hingga lupa menikmati saat-saat berharga bersama anak. Ilmu bisa dicari kapan saja, tapi waktu bersama anak tidak bisa diulang.
-
Sadari bahwa setiap fase memiliki keindahannya sendiri. Bayi yang sering menangis, anak balita yang penuh eksplorasi, remaja yang mulai mencari jati diri—semuanya adalah bagian dari perjalanan yang suatu hari nanti akan dirindukan.
-
Rawat diri sendiri. Seorang ibu yang bahagia akan lebih mudah menghadapi tantangan parenting. Luangkan waktu untuk istirahat, menikmati hobi, atau sekadar menghirup udara segar di tengah kesibukan.
Pada akhirnya, menjadi ibu adalah tentang terus belajar, bertumbuh, dan berusaha dengan cinta. Kita mungkin tidak sempurna, tapi kita selalu cukup untuk anak-anak kita. Dan yang lebih penting, kita juga perlu menjadi cukup untuk diri kita sendiri.
Jadi, alih-alih terus menyalahkan diri, mari kita belajar untuk merangkul diri—dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala usaha dan ketidaksempurnaannya. Bagaimana pun juga, ibu yang bahagia akan menumbuhkan anak-anak yang bahagia.