“Bun, saya udah coba nulis emosi yang bikin sesak, kok rasanya belum bisa tuntas ya? Malah rasanya makin sedih. Seperti ada yang masih mengganjal”, ujar salah seorang klien dalam sesi coaching.
Writing for healing, terutama buat merelease emosi yang bergejolak, menjadi salah satu metode yang beberapa tahun terakhir ini, terbilang ngetrend.
“Meluangkan 15 menit untuk menulis refleksi di penghujung hari dapat membantu meningkatkan efektivitas dan makna dalam aktivitas keseharian — Fransisco Gino (Psikolog Harvard Business School)”
Jika memang diklaim bermanfaat, tapi kenapa ada sebagian orang yang justru mengalami kesulitan untuk mendapatkan esensi dari menulis yang ditujukan untuk menyembuhkan secara psikis ini?
Saya pribadi, writing for emotional healing, bermula ketika menulis buku antologi “Pulih” beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, saya mulai mengulik tentang teknik menulis untuk menyembuhkan ini.
Setelah mulai mendalami Talents Mapping dan memutuskan berkomitmen untuk menjadi praktisi, ilmu seputar writing for healing ini menjadi sangat penting dan perlu saya perdalam.
Seperti yang diungkapkan beberapa senior, bahwa klien yang datang memang biasanya tidak jauh-jauh dari apa yang pernah kita hadapi sendiri. Ya, Allah memang paham benar, akan memberikan sesuatu sesuai dengan kemampuan kita, tepat pada waktunya. Begitu pun yang selama beberapa bulan terakhir saya alami.
Beberapa bakat kuat yang sempat menjadi bumerang buat saya pribadi adalah empathy & deliberative. Nah, beberapa waktu terakhir ini justru saya sering mendapatkan klien dengan komposisi bakat serupa.
Empathy, ini adalah bakat yang cenderung mudah tersetrum emosi dan energi orang lain. Belum tentu juga kan, emosi yang ada di sekeliling kita adalah yang membuat nyaman. Gimana kalo yang terjadi sebaliknya? Berada di sebuah ruangan dengan orang yang punya rasa marah atau sedih, membuat si bakat empathy kuat instantly langsung ikut merasakan.
Tentu saja, ini membuat lelah jika tidak bisa kita kontrol. Bahkan di beberapa kasus, justru membuat bingung, mana sebenarnya emosi kita sendiri dan mana yang terpengaruh oleh orang lain. Hal inilah, yang menjadikan perlu adanya regulasi emosi yang tepat.
Begitu pula, dengan bakat kuat deliberative. Bakat yang harusnya menjadi pagar pengendali risiko, malah bisa jadi rem yang diinjak terlalu dalam, hingga menjadi keraguan berulang.
Melalui menulislah, akhirnya saya bisa lebih mengurai ragu dan khawatir termasuk aneka emosi yang membingungkan.
Hari ini, izinkan saya berbagi pengalaman bagaimana writing for emotion healing yang terbukti bisa jadi salah satu tools untuk menjaga kesehatan mental. Terutama, kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan hingga ketika kita menulis bukannya menyembuhkan tapi malah menyesakkan.
Berikut 7 kesalahan yang membuat writing for emotion healing tidak berhasil:
#1. Takut Menghadapi Emosi yang Sebenarnya
Takut menghadapi emosi yang sedang bergejolak, membuat proses menulis menjadi setengah hati. Artinya hanya mampu menyentuh pada permukaannya saja, bahkan bisa dibilang tidak jujur dengan kondisi sendiri. Kunci utamanya adalah menerima terlebih dulu the real emotion. Tanyakan secara mendalam ke diri sendiri, apa emosi yang dirasakan, beranikan diri lalu salurkan melalui tulisan.
#2. Terburu-buru
Menulis hanya untuk segera selesai, bukan untuk benar-benar memahami. Padahal jika dilakukan terburu-buru, healing menjadi dangkal, dan manfaatnya tidak maksimal. Nikmati proses menulisnya, seolah-olah kita sedang mencerna makanan yang kita santap dengan penuh kesadaran.
#3. No Action, Write Only
Menulis panjang lebar, tapi setelahnya tidak ada eksekusi atau implementasi dari apa yang kita tuliskan. Menulis adalah sebuah tools yang tidak bisa berdiri sendiri, tapi juga membutuhkan indra lain untuk mendukung. Artinya perlu ada pergerakan untuk mengubah respon terhadap sebuah situasi. Itulah kenapa orang-orang yang rajin olahraga, mental statenya juga cenderung lebih baik, karena ada gerakan-gerakan yang secara sadar ataupun tanpa sadar, ternyata menjadi proses healing.
#4. Berhenti Sebelum Tuntas
Saya sendiri, pernah terjebak pada fase ini. Menulis tapi tidak sampai tuntas. Menganggap bahwa menyalurkan emosi saja tanpa perlu masuk ke fase lebih penting, yaitu menyadari dari mana datangnya emosi. Setelah menyadari, lalu menerima, barulah kita merasakan sensasi tertentu seperti yang didapatkan pada sesi hypnotherapy, seperti sensasi sejuk atau hangat (berbeda tiap orang). Kuncinya tuliskan saja terus rasa tidak nyaman, sampai kemudian menemukan solusi yang tiba-tiba CRING hadir begitu seluruh sampah keluar. Saya sendiri pernah menulis hampir 1 minggu untuk 1 permasalahan yang sangat menganggu, dan itupun sehari bisa 2-3 tulisan, baru bener-bener plong.
#5. Malu dengan Tulisan Sendiri
Penyebab utama dari malu dengan tulisan sendiri, biasanya lebih kepada takut dengan judge dari orang lain dan juga menghindar dari kenyataan bahwa sebagai manusia dewasa kok bisa-bisanya tidak mampu menguasai emosi dengan baik. Padahal, mau berapapun usianya, tiap orang punya permasalahan berbeda. Menulis dalam journal pribadi seperti diary, adalah cara terbaik ketika kita tidak ingin mengungkap masalahnya. Bahkan ada pendapat yang membolehkan kita menghancurkan tulisan yang dirasa terlalu bersifat rahasia. Intinya, let it out! Keluarkan unek-unek dulu melalui tulisan, then you’ll find peace.
#6. Inkonsistensi
Nah ini, kita gak bisa langsung mendapatkan hasil instan, jika kita gak lakukan secara rutin. Di masa tenang atau nyaman pun, sebaiknya tetap kita lakukan, bisa journalling gratitude, yaitu berupa ucapan rasa syukur. Dengan kita tetap maintain diri dengan menulis, maka ketika masa gonjang-ganjing datang, kita lebih terbiasa untuk menemukan pola solusi atas sebuah masalah. Jadwalkan rutin menulis aja, misal pagi hari sebelum Subuh, atau saat anak asyik main kita bisa ambil waktu sebentar untuk menulis, boleh juga ketika jeda istirahat kantor. Ya, ini artinya memang butuh konsistensi untuk merawat mental health, sama halnya menjaga kesehatan tubuh.
#7. Menulis Tanpa Struktur
Dalam menulis untuk tujuan emotion healing, ternyata kita bisa memakai teknik Expressive Writing dari James Pennebaker. Ini adalah sebuah metode menulis selama 4 hari berturut-turut, masing-masing sekitar 15-20 menit per sesi, untuk mengungkapkan emosi terdalam terkait pengalaman hidup yang signifikan.
Langkah-Langkahnya:
Hari 1:
- Pilih pengalaman emosional yang kuat (trauma, konflik, kehilangan, atau peristiwa yang sangat membekas).
- Tulis secara bebas, tanpa sensor, tentang perasaan, pikiran, dan dampaknya.
Hari 2:
- Tulis lagi tentang pengalaman yang sama, tapi gali lebih dalam.
- Fokus pada bagaimana pengalaman tersebut mengubah hidup dan perasaan saat ini.
Hari 3:
- Jelajahi hubungan antara pengalaman tersebut dengan aspek lain dalam hidup (kepercayaan, hubungan sosial, pekerjaan, atau kesehatan).
- Apakah ada pola yang muncul dari pengalaman tersebut?
Hari 4:
- Refleksi: Apa yang sudah dipelajari? Bagaimana bisa melihat pengalaman ini dari perspektif baru?
- Mulai menulis dengan sudut pandang yang lebih positif atau penuh penerimaan.
Kunci sukses Expressive Writing ada 4 hal penting. Pertama, tulislah dengan jujur, meskipun terasa berat. Kedua, tulis tanpa sensor, tidak perlu khawatir soal ejaan, tata bahasa, atau struktur tulisan. Ketiga, menulis hanya untuk diri sendiri, tidak perlu dibagikan ke orang lain. Keempat, refleksi, yaitu setelah selesai menulis, ambil napas, dan beri jeda sebelum membaca ulang.
Menulis memang bisa menjadi ruang aman untuk menyembuhkan luka, tetapi jika tidak dilakukan dengan tepat, prosesnya bisa terasa buntu dan tidak memberikan manfaat yang diharapkan.
Dengan menghindari kesalahan-kesalahan yang sudah dibahas, kita bisa menjadikan Writing for Emotional Healing sebagai alat yang benar-benar membantu dalam memahami dan melepaskan emosi.
Yang perlu kita ingat adalah, menulis bukan sekadar mencurahkan isi hati, tetapi juga tentang bagaimana memproses, menerima, dan bertumbuh dari setiap pengalaman. Yuk mulai menulis dengan lebih sadar dan penuh makna.
Teknik Expressive Writing-nya menarik, Kak. Boleh deh dicoba dengan durasi sedikit dulu.
*pegelll euy 15 menit 😆
15 menit itu gak kerasaaaaa, malah biasanya bisa sampe 30 menitan, karena ada jeda juga, mikir sambil nginget-nginget, sambil merasa-rasaaaa