Dalam sebuah perbincangan,
“Wah Mbak, rapi banget tulisan anaknya”, kata si Ibu A
“Iya nih mb, tumben, lagi bolong aja kali udelnya”, kata si Ibu B
Jujur, saya kok malah sedih ya, dengan jawaban dari si Ibu B. Iya, ini kejadian nyata, dan tampaknya masih kerap saya temukan. Kenapa harus bilang “tumben”, kenapa gak bilang “Alhamdulillah” atau hal-hal lain yang lebih positif.
Perkara anak, saya berusaha menjaga pikiran dan terutama ucapan apapun yang akan keluar untuk si anak. Karena tiap ucapan adalah doa. Ketika kita bilang “tumben”, tanpa sadar sebenarnya kita sendiri yang mencetak anak kita seperti apa. Kebayang, kalau itu berkaitan dengan ibadah?
“Wah anaknya rajin sholat nih Mbak?”. Lalu kita jawab dengan, “Iya nih tumben”.
Masyaa Allah, saya kalo dengar yang seperti itu kok malah terasa teriris ya. Meski sebenernya sepele, tapi ternyata efeknya adalah jangka panjang untuk masa depan anak.
Saya jadi teringat, ada seorang kerabat, yang menurut saya, anaknya itu cantik dan pintar. Terlihat dari cara ia bicara semasa masih balita hingga SD, belum lagi dengan parasnya yang menawan dengan kulit putih bersih. Ngobrol dengan begitu antusias di usia balita, membuat saya yakin, ini anak cerdas.
Setiap saya berkunjung ke rumah kerabat saya ini, baik ia maupun istrinya, selalu memberi label tertentu ke anaknya, “Mbok kamu tuh pinter kayak Tante”. “Ah kamu sih males gak mau belajar”. “Ih nakal banget sih Nduk”.
Saya yang waktu itu masih sekolah dan belum mengerti banyak ilmu psikologi anak, hanya merasakan ketidaknyamanan pada diri anak. Ya wajar lah, selain diberi label negatif, plus dibanding-bandingkan pula. Saya aja yang mendengar, jadi gak nyaman. Apalagi si anak tersebut, yang menelan aneka label setiap hari.
Belasan tahun berlalu, saya kembali bertemu kerabat saya tersebut. Di saat itulah, saya benar-benar kaget dengan penampilan anak perempuan semata wayangnya. Yang masa kecil dulu cantik, sekarang berubah drastis. Cantik sebenarnya, tapi semacam tidak mengurus dirinya dengan baik. Bahkan gaya bicaranya, jauh dari PEDE, berbeda dengan apa yang saya temukan masa ia kecil dulu. Kerabat saya juga masih bilang, “Ah di kampus payah nih nilainya”.
Masya Allah, lagi-lagi saya kalo mendengar ada orang tua berkata begini ke anaknya, saya ngin menangis dan teriak. “Helloowww, anakmu gitu ya karena ucapanmu selama ini!”.
Ketika Allah menitipkan kita anak, betapa berkah luar biasa, mengingat masih ada beberapa orang yang berjuang keras untuk mendapatkan momongan. Tapi ketika itu anak ada, dan kita dengan sekedarnya memperlakukan anak dengan label yang negatif, maka otomatis anak bertumbuh menjadi sedemikian yang kita tanamkan dari kecil.
Saya sebagai orang tua, sebagai seorang Ibu, juga terus belajar, menjaga mulut, menjaga rasa, menjaga hati, menjaga pikiran ketika berucap ke anak-anak. Membiasakan memberi label positif memang tidak mudah, butuh latihan yang tidak sebentar. Ketika berpikir negatif, langsunglah saya beristighfar.
Label pada anak, kadang memang orang tua sematkan sejak anak-anak masih kecil. Entah itu label pintar, baik, rajin, cerdas, hebat hingga label malas, nakal dan beragam label lainnya. Nyatanya, label inilah yang akan anak bawa seumur hidupnya. Bagi sebagian orang, yang memang bersungguh-sungguh, berhasil membongkar label yang orangtuanya berikan, tapi sebagian lain tertatih dan memilih pasrah menerima label tersebut.
Satu hal yang saya yakin, tiap orang itu bisa berubah jadi lebih baik. Meski label apapun yang tersemat di dirinya sejak kecil, siapapun bisa merubah label tersebut, asal mau berusaha dengan tekad yang kuat. Tidak mudah, tapi siapapun bisa, asal MAU.
Dan siapapun orangtua yang membaca postingan ini, yuk kita mulai membenahi label kita ke anak. Apakah selama ini label itu positif ataukah sebaliknya?
Remember, What you say, what you get!
26 Comments
Ciani
Ohh gitu ya mba?
Baiklah. Bekal buat nanti punya anak.
Nychken Gilang Bedy S
Tutur kata memang penting
xen
Menanamkan perkataan sejak kecil memang baik
dymar mahafa
Miris mbak saya bacanya… ternyata masih banyak ortu yg punya pemikiran kolot semacam itu. Kasihan anak2nya. Terima kasih atas tulisan ini ya mbak. Boleh aku share ya mbak π
Alif Kiky
Secara tak langsung melabeli anak bisa jadi karakter anak ya mbak?
Reffi Dhinar
Bisa buat bekal saya kalau punya anak, nice mbak π
Lia Yuliani
Benar, Mbak. Label itu berpengaruh terhadap kondisi psikologis seorang anak. Sedih kadang kalau mendengar anak dibanding-bandingkan, kamu ini begini, beda sama yang lain. Kasihan anaknya. Kejadian yang terjadi di masyarakat, membuat saya ingin terus belajar jadi orang tua yang lebih baik.
Arni
Terimakasih pengingatnya mbak
Memanh bener banget, ucapan adalah doa. Makan ucapkanlah yang baik-baik
Mudah2an kit diberi kesadaran untuk mendidik anak dengan baik ya, mbak
Siti Nur Maftuhah
Betul ya, kita suka melabeli.anak. Padahal ucapan ibu adalah doa.
innaistantina
betul sekali mb
apalagi sosok ibu ya
Bety Kristianto
Sama mba, aku sedih banget sama fakta2 kayak gini. Sama kayak tetanggaku yang selalu memaki dan ngata ngataim anak balitanya sendiri. Padahal dia yang punya problem, anaknya yang jadi korban. Mosok anak 4 tahun dibilang go**ok, ngeyelan, bawel, nyebelin dan lain2. Padahal anaknya cantik2, nggemesin.. huhuhu
innaistantina
iya ya mb
aku pun kadang heran
kalo sekali dua kali mungkin masih bisa maklum
kalo tiap hari tiap saat
itu kayak kasih racun aja ke anak
racun tumbuh kembang
yang nyembuhinnya gak gampang
Wiwin Pratiwanggini
Yang aku temui, seringkali justru om-omnya yang suka ngasih label ke anak-anakku. Sementara aku pribadi sebagai ibunya selalu berusaha tidak memberi label negatif ke anak.
innaistantina
nah itu dia mb
justru kadang malah anak-anak dapetnya dari luaran yaaa
Uniek Kaswarganti
Nah, ini yang mulai kubiasakan sejak tau printilan parenting. Tiap kali jengkel sama anak klo dia pas ga nurut gitu ya, langsung saja bilang… Duuuhh anak sholih, gini lhooo… hehehe… Lalu tetep lanjut sesi ngomel2 sih :)) Tapi berusaha sekuat mungkin untuk tidak menempelkan label buruk pada anak.
innaistantina
iyaaaaaa sometimes it works
sometime kelepasan jugaaa
dan nyeselnya bukan kepalang yaa mbaaaa
Haeriah Syamsuddin
Berasa ditampar dengan tulisanmu, Mba. Sering kali, kita lupa menjaga lisan dari kata-kata yang tidak berguna. Perkataan yang mungkin terlihat sepele tetapi bisa membawa pengaruh yang luar biasa.
Terima kasih sudah mengingatkan.
innaistantina
sama-sama mb,
ini juga dalam rangka
menampar diri sendiri π
Cempaka Noviwijayanti
Waktu kecil saya termasuk anak yang dilabeli mbak… Sungguh rasanya enggak enak banget dan saya stuggle hingga usia 20an untuk “menyembuhkan” dan membangun kepercayaan diri. Sekarang ketika punya anak, saya selalu berusaha menjaga lisan saya, krn saya paham betul akibatnya seperti apa…. π
innaistantina
yesss mb
luar biasa pasti prosesnya yaaa
apalagi bisa menyembuhkan diri sendiri
butuh perjuangan gak mudah
dan kereennyaaaa
mbk bisa belajar dari hal tersebut
dengan lebih menjaga lisan ke anak mb sendiri
saluttt!
Qoty Intan Zulnida
Memang benar, mbak. Latihan untuk tidak melabeli anak dengan label negatif memang perlu latihan yang tak putus. kalo saya kesulitannya di tidak membandingkan anak. Ini sulit banget, mbak. apalagi anak dua dengan jarak dekat dan karakter yg berbeda. kok yaa bawaannya jadi pengen bandingin terus.
innaistantina
saya pun terus belajarrr ini mb
PR mengendalikan lisan untuk tidak membandingkan kemampuan masing-masing anak
karena gimanapun
tiap anak itu unik dan spesial
Grandys
Miris dan nyesek sih kalo orang tua sendiri yang memberi pelabelan negatif k anak sendiri karena tidak sesuai dengan ekspetasu orang tuanya. Alhamdulillah aku selalu diberi afirmasi positif oleh mamah dan papah jadi sekarang aku bisa tumbuh jadi anak yang nyaman dengan diri sendiri. Karena dulu sempat diberi label ga cantik, gendut zaman sekolah.
innaistantina
nyesekkks banget!
miyosi
Ya Allah
Iya nih mb
Napa masih ada aja ortu yg suka melabeli negatif ke anak Ya Allah
Prihatin
Sedih pasti anakny kalau ngerti
innaistantina
iya kan, malah kita sedih liatnya